7. Kaca Mata Seorang Pelupa ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ INI cerita tentang pamanku yang pelupa. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi kurus, berkaca mata putih minus. Kemana-mana ia selalu mengenakan kaca matanya yang berbentuk bulat mungil itu. Bila melihat jarak jauh Paman merasa kabur tanpa kaca mata. Tapi kalau jarak dekat, ia masih normal. Suatu hari diajaknya aku ke Wartel untuk menelpon seorang temannya. Selesai menelpon ia bingung mencari-cari kaca matanya. “Barangkali Om kemari tidak pakai kaca mata,” kata pemilik Wartel. “Mana mungkin? Kalau tidak pakai kaca mata, aku tidak akan sampai di wartel ini,” jawab pamanku ketika akan membayar. “Kalau tidak pakai kaca mata, aku bisa menabrak orang di jalan, bisa nabrak tiang listrik, bisa nabrak sapi atau kerbau, bahkan bisa masuk got” lanjutnya berapi-api. “Jadi, kaca mata itu pasti tertinggal di sini.” Lalu Ia kembali masuk ke box telepon. Aku ikut pula membantu mencarinya. Tapi hingga keringatan, kaca mata itu tetap tak ditemukan. Apa mungkin diambil orang lain? Tak mungkin. Setahuku, selesai menelpon, belum ada lagi orang lain yang masuk ke ruang telepon itu. “Sudahlah, Paman. Nanti kita cari saja di rumah. Siapa tahu tertinggal di sana. Bukankah Paman selama ini memang pelupa?” kataku menasehati. “Ah, tidak mungkin. Aku memang pelupa, tapi untuk yang satu ini aku ingat betul, tadi kemari jelas pakai kaca mata. Tak mungkin kaca mata itu tertinggal di rumah!” Pamanku masih ngotot. Kembali ia mencari-cari. Tapi setelah dicari-cari tak ketemu, akhirnya ia menyerah juga. Direlakannya kaca matanya itu hilang. “Ya, sudahlah. Tak apalah hilang. Nanti bisa beli lagi,” katanya kemudian sambil menyeka peluh di keningnya. Lalu ia merogoh saku bajunya untuk mengambil uang pembayar pulsa telepon. Namun saat itu juga, tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu di sakunya. “Astagaa... apa ini?” Pamanku terkejut. “Lhaa... itu kaca mata Om!” ujar gadis penjaga wartel ketika pamanku perlahan mengangkat sebuah kaca mata mungil dan saku bajunya. Pamanku tercengang-cengang. Benar. Kaca matanya itu ternyata ada dalam saku bajunya. Wajah Pamanku merah padam. Alangkah malunya ia. Cepat-cepat dibayarnya uang pulsa telepon itu. Aku tersenyum geli. Sedangkan Paman tidak habis pikir, bagaimana bisa kaca mata itu masuk ke kantung bajunya tanpa diketahuinya? Kapan ia menaruhnya? Ah, dasar Paman. Tentu saja ia lupa kalau kaca mata itu memang ia sendiri yang menaruhnya di saku bajunya. “Barangkali aku memang sudah pikun,” akhirnya Paman mengakui kelemahannya sambil menepuk jidat setelah menyerahkan uang. Kelucuan kedua terjadi ketika pemilik wartel merasa kesulitan mencari uang kembalian. “Wah, tidak ada uang recehan, Om,” ujar gadis itu. “Memangnya kembaliannya berapa?” “Lima ratus.” “Ya sudah, kasih kacang goreng ini saja, ya?” Pamanku segera membuka stoples berisi kacang goreng yang ditaruh di dekat meja kasir, dekat komputer. Kebetulan kacang yang dibungkus plastik itu harganya lima ratus rupiah sebungkus. Pejaga wartel mengangguk. Selesai mengambil kacang goreng, dengan santainya kami meninggalkan wartel itu. Akan tetapi, baru berjalan beberapa langkah, gadis penjaga wartel itu cepat-cepat berteriak, “Om.. Om... tunggu sebentar!” “Haa, ada apa lagi?” Pamanku heran sambil berhenti, lalu menengok ke belakang. “Mau dibawa ke mana tutup stoples itu?” tanya penjaga wartel. Pamanku terkejut. Aku juga kaget. Astaganagabalaa... tutup stoples itu, ternyata ada di tangan Pamanku! Wajah Pamanku tambah merah padam. Aku tertawa terpingkal-pingkal. Penjaga wartel tersenyum-senyum. Ah, dasar Paman, seorang pelupa. ***